WELCOME TO MY BLOG

Pages

Sabtu, 01 Oktober 2011

TEMARAM...

temaram

          Senja menyingsing diufuk barat. Bumi termenung dengan hati yang larat. Sakit hatinya bagai tersayat-sayat. Dia terus  tuk berpikir optimis. Namun hanya kesedihan yang dating membayang. Dia terus memikirkan nasibnya yang malang, yang terbuang di jurang kesedihan yang mendalam. Dia meronta-ronta namun tetaplah dia makhluk yang terbuang. Dia mencoba untuk berteriak, akan tetapi harapan tak kunjung dating menjelang. “ Wahai angin yang bertiup sepoi-sepoi didahan. Tidakkah kau merasakan kesedihan yang sama wahai kawan?. Wahai angin wahai perindu malam dengarkanlah jerit tangisku didalam lantunan bait rindu. Wahai sobatku diriku termangu didalam gejolak emosi semu. Kini ia telah membunuhku disetiap  lantunan tembang waktu” kata bumi. Ia kembali melontarkan kata-kata puitis yang entah dating darimana asalnya.
            Angin menjadi pemandu sorak yang menggiring dirinya kedalam balutan emosi kesedihan. Terbata-bata dalam kata, tertatih-tatih dalam langkah. Kini, dirinya hanya bisa menangis dan mengadu kepada sang kala, yang menemaninya disetiap  sedih  dan duka nya. Seperti saat ini, hatinya sedang tercabik-cabik oleh ganasnya cinta.”Wahai bulan wahai pelita malam, tataplah ronaku yang penuh dengan kedukaan, dengarkanlah suara jeritan hati yang penuh dengan kesedihan. Apakah diri ini pantas tuk hidup? Jika hanya tuk tersakiti? Jawab, jawablah wahai sang kegelapan” lanjut bumi dengan uraian air mata.
          Terdengar suara burung nyaring berkicau. Saat mendengar itu, Bumi kembali bersyair, “Wahai kenari, diri ini terbuai dalam mimpi, mimpi indah yang membuat aku tak mau bangun lagi, tetap terjaga dalam mimpi. Namun diri ini tak kuasa menahan kehendak pagi. Diri ini tak mampu tuk ingkari. Walaupun hanyalah mimpi, tetaplah sebuah kenangan yang begitu berarti” kata Bumi.
       “Didalam sepi ku berdiri. Kucoba tuk hentakan kaki. Namun, kakiku terlalu lemas untuk turuti”lanjut Bumi. Memang saat itu bumi berada di daerah taman kota. Pada saat itu malam sudahlah sangat larut. Namun , Bumi masih enggan melangkahkan kaki dari tempatnya berdiri. Terlalu nyaman bagi Bumi. Disanalah, tempatnya mengadu dan meratapi. Hasrat syahdu yang tak bertepi.
      “Wahai air yang mengalir dengan deras, bagai derasnya gejolak hati yang panas. Engkau lebih berharga dari sebongkah emas. Apakah diri ini pantas? “ lanjut Bumi. Matanya melihat jauh kedalam permukaan air , seakan ingin melihat apa yang ada didalamnya. Gejolak dalam dirinya tak kunjung menghilang. Namun semakin membakar. Dia tak kuasa menahan kobaran api yang semakin lama semakin membesar. Hasratnya tak kunjung sirna, namun semakin kuat.
        Dengan berat hati, akhirnya bumi melangkahkan kakinya. Dia mulai berjalan keluar dari taman itu. Langkah demi langkah, ia tempuh dengan sangat lemah. Entah ingin kemanakah dia. Dia berjalan tanpa arah, terhuyung-huyung, tertatih-tatih. Namun, jejak langkahnya tak pernah berhenti. “ wahai angin, tuntunlah diriku kealam syahdu. Tuntunlah langkahku tuk bertemu. Wahai kawanku, akankah kaubiarkan sobatmu terjatuh? Karena kau selalu diam membisu?”lanjut bumi.
        Dia terus berjalan menapaki sepanjang trotoar kota Jakarta. Tanpa arah tanpa tujuan. Dia tak sadar, kemanakah angin memandunya. Hanya larut dalam kesedihannya yang mendalam. Dirinya larat dalam angan-angan.”Wahai sang kegelapan. Kaulah penjaga arti disetiap tabir malam, dengarkanlah suara hatiku yang melantunkan sejuta bait rindu yang mendalam. Akankah diriku jatuh dalam nasib yang kelam?, akankah aku tak bisa melihat kedepan ?” lanjut bumi sambil mempertahankan langkahnya.
      Langkah kaki yang begitu berat. Dia merangkak didalam hati yang larat. Tak terasa langkah kakiknya menuntunya menuju rumah lora. Seorang yang begitu dikasihinya. “Wahai angin malam, kau iringi setiap langkahku. Setiap jerit dan tangisku. Wahai kawan, sampaikan sejuta bait rinduku pada dirinya” kata bumi. Lama bumi memandangi rumah Lora. Dalam situasi itu dia hanya dapat duduk diam. Tak berani melanjutkan langkahnya untuk mendekati rumah lora, apalagi tuk mengetuk pintu rumahnya. Hanya bait-bait puisi yang terlontar begitu cepat dari mulutnya. Sebuah irama indah yang takkan pernah diketahui oleh orang lain, kecuali dirinya sendiri.
       Disaat kesendiriannya itulah, muncul ingatan masa lalunya. Masa dimana ada kecemerlangan dan kemalangan. Dulu, Bumi adalah seorang pemuda yang ceria dan sangatlah ramah. Dia adalah anak kedua dari dua bersaudara. Laut, itulah nama kakak yang lahir beberapa menit lebih dulu darinya. Mereka berdua diberi nama demikian, sesuai dengan harapan kedua orang tuanya, yaitu agar bersifat seperti elemen-elemen kehidupan. Apalagi kehadiran keduanya sangat dinanti oleh keluarga mereka. Maka, dengan kehadiran keduannya menjadikan rumahnya menjadi semarak dan penuh dengan suara tangisan bayi.
     Tahun berjalan begitu cepat. Mereka berdua tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan berakhlak mulia. Tak heran banyak wanita yang menyukainya. Meskipun mereka berdua adalah saudara kembar,namun sifat maupun kegemaran mereka sangatlah berbeda. Sejak kecil, Laut lebih suka bergaul dengan teman-temannya dibandingkan untuk diam dirumah. Karena kebiasaannya yang lebih sering berada diluar rumah itulah yang membuat nama Laut lebih dikenal dimasyarakat sekitarnya daripada nama Bumi. Meskipun wajah mereka hamper sama. Hal ini berbeda dengan bumi. Dia adalah anak pendiam yang lebih suka menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku kesukaanya. Dia juga suka menulis berbagai macam karya sastra. Pantaslah jika ia sering mendapatkan penghargaan sastra ditingkat daerah maupun nasional. Namun, karena kebiasaannya itulah yang membuat bumi dianggap angkuh dan sombong, karena tidak mau bergaul dengan masyarakat sekitarnya.
       Dirumahnya, juga terdapat perbedaan perlakuan. Laut lebih dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Semua keperluannya disediakan oleh orang tuanya bahkan tanpa ia harus memintanya. Sedangkan Bumi harus merengek-rengek terlebih dahulu agar bisa dibelikan sesuatu yang diinginkannya. Namun Laut adalah orang yang pandai bertindak dan peka dalam menghadapi masalah. Dia sering berbagi miliknya kepada Bumi, sehingga terciptalah kehidupan yang harmonis diantara keduanya.
        Waktu itu, raja pagi telah mengenakan jubah keemasannya. Disusul oleh sura sangkakala yang ditiup oleh pejantan-pejantan pagi. Tanda-tanda akan dimulainya hari dengan segala hiruk-pikuknya. Kehidupan kota Jakarta yang awalnya seperti kota mati semakin semarak dan ramai dengan segala aktivitas penghuninya.
        Pagi itu, senyum indah terpancar dari wajah Bumi. Hari itu adalah hari dimana karya sastranya selesai dan siap untuk diterbitkan. Setelah segala keperluannya telah siap. Dengan langkah yang pasti Bumi beranjak keluar dari rumahnya. Kemudia ia langsung memacu mobilnya.
       Seperti yang telah biasa terjadi, Bumi terjebak macet. Kurang lebih selama 2 jam dia menunggu. Alhasil mobilnya hanya bergerak beberapa meter dari tempat semula. “Andai kujadi burung kenari, kutak perlu mengikuti segala aktivitas manusia ini” gumamnya dengan hati yang sangat kesal. Menit demi menit berlalu, sampailah ia didepan sebuah minimarket.”sepertinya kemacetan ini takkan ada habisnya” gumam Bumi dalam hatinya. Kemudian bumi memacu mobilnya memasuki halaman parker minimarket tersebu. Kemudian ia mampir kedalam minimarket tersebut untuk membeli beberapa botol minuman elektrolit.
      Bumi mulai menginjakkan kakinya keluar dari minimarket itu dan kemudian berlari menuju kantornya yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari tempatnya sekarang berdiri. Dengan seluruh badan yang basah dengan keringat, ia mulai memasuki ruangan kantornya dengan tergesa-gesa.”Semoga saja tidak terlambat”gumam bumi mempercepat langkah kakinya. Tiba-tiba “gubrak” Bumi bertabrakan dengan seseorang. Dengan gugup bumi membereskan barang bawaanya tanpa melihat dengan siapa ia bertabrakan.
     Setelah semuanya selesai,  saat itulah mereka berdua mulai berpangutan mata.  Semakin bertambah gugup Bumi, saat ia tahu yang berada dihadapannya adalah gadis dengan rona wajah yang begitu memukau.”anu…eh…maafkan saya”kata bumi terbata-bata.”iya nggak apa apa kok” lanjut wanita itu dengan senyum yang memukau.Serasa waktu berhenti berdetak. Disaat itulah jantung Bumi berdegup dengan sangat kencang.”Permisi ya mas.. saya buru-buru” kata wanita tersebut. “eh anu .. iya bu “ lanjut Bumi . mereka pun berpisah dan kembali ke tujuan mereka masing-masing. “Bagai burung cenderawasih, suaramu indah pengisi hati, sosokmu begitu rupawan sekali” gumam Bumi dalam hatinya.
      “Eh dia itu siapa” Tanya Bumi kepada teman sekantornya. “Dia itu karyawan baru disini”kata temannya.”Oh pantas saya baru melihatnya kali ini” lanjut Bumi kembali meneruskan pekerjaannya. Selain sebagai penulis, Bumi juga bekerja sebagai editor dikantornya. Sehingga dalam setiap harinya hamper tiada waktu untuk dirinya sendiri.
      Raja pagi telah menanggalkan jubag keemasannya. Pertanda bahwa hari telah beranjak senja. Bumi mulai beranjak meninggalkan ruangan kantornya. Dengan rasa penasaran yang mendalam terhadap gadis yang sudah ditemuinya tadi pagi.”kira-kira siapa namanya ya?”gumam Bumi dalam hati. Saat itu Bumi masih enggan meninggalkan kantornya. Karena mobilnya yang masih berjarak beberapa ratus meter dari kantornya.
        Saat dia keluar dari kantornya itulah dia menjumpai wanita tadi. Degup jantung Bumi berguncang sangat kencang. Dengan mengumpulkan segenap keberaniannya, dia mencoba untuk berbicara dan berkenalan dengan gadis tersebut. Terjadilah sebuah perkenalan yang membekas dalam hati mereka berdua.
       Bumi pulang kerumah dengan perasaan yang bahagia. Dengan berbinar-binar matanya membayangkan wajah wanita yang tadi ditemuinya. Terbayang wajahnya disetiap kedip matanya. Setelah hal itu terjadi, sifat Bumi mendadak berubah. Dari awalnya adalah pemuda yang pendiam menjadi pemuda yang ceria dan sangat ramah.
        Karya-karyanya pun bertemakan dengan kisah-kisah indah seputar cinta. Tidak sampai satu bulan, karyanya telah selesai. Sebuah novel yang berjidul “Satu tembang sejuta rasa” telah rampung. Kemudian karya berikutnya yang berjudul “Rona indah dipelupuk mata”. Juga dengan karya-karya lainnya seperti “sedetik tuk selamanya” dan “titisan sang rembulan” pun begitu cepat terselesaikan.
        Sayangnya ketangguhannya dalam menuliskan setiap bait-bait cerita. Tidak tertuang pada kehidupan nyatanya. Dia sama sekali tak berdaya. Semua perasaannya tertuang secara tersirat pada setiap detil karyanya. Entah pesan itu tersampaikan atau tidak. Namun, dengan dapat melihat wajah lora setiap hari, itu sudah cukup bagi Bumi. Setidaknya untuk saat itu.
      Sebenarnya Lora pun memiliki perasaan yang sama. Namun, mereka berdua terlalu malu dan gugup untuk mengakuinya satu sama lain. Apalag Bumi, dialah yang paling gugup dan salah tingkah saat terjadi obrolan diantara keduanya.
      Hari berlalu dengan cepat. Disuatu hari, Bumi terbangunkan dengan suara ramai yang berasal dari ruang tamu. Karena penasaran, Bumi mendekati ruang tamu itu. Bumi merasa agak bingung, ternyata keluarga Lora dan keluarganya sudah saling kenal dan terlihat akrab. “Pa, ada apa ini ? “ Tanya Bumi kepada Papanya. “Kita semua berkumpul disini untuk membicarakan pernikahan Lora dengan kakakmu Laut”balas Papanya.
          Bagai tersambar petir rasanya. Hancur luluh lantak hati Bumi ketika mendengar perkataan orang tuanya itu. Ternyata gadis yang selama ini diidam-idamkannya telah dijodohkan ayahnya dengan kakak tercintanya sendiri.
---------****----------
         Bumi tersadar dari lamunannya itu dan segera menyadari bahwa dirinya telah berurai air mata. Menetes begitu banyak di pipinya. Tak kuat dengan keadaan yang sedang dihadapinya, Bumi mulai menuliskan secarik surat sebagai salam perpisahan kepada Lora. Kekasih yang dicintainya.
        Setelah beberapa lama, akhirnya selesailah surat yang dibuatnya itu. Kemudia diletakkan surat itu didepan rumah Lora. Seseorang yang sangat dikasihinya itu. Dengan mencurahkan seluruh isi hatinya di surat itu, dia berharap agar Lora benar-benar mengerti perasaanya.
       Bumi beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Dengan langkah berat, dia menyusuri jalanan Jakarta. Dia tidak tahu mau kemana lagi saat itu. Setidaknya perasaannya kini telah lega dengan menuliskan surat kepada Lora.
-----------------********--------------
      Raja pagi telah menunjukan jubah keemasanya. Lora terbangun dari tempat tidur dan mulai keluar dari rumahnya. Tak sengaja dia menemukan surat dari Bumi yang tergeletak begitu saja didepan pintu rumahnya. Dengan perasaan yang begitu mendalam dia membuka surat tersebut dan membacanya dengan hati-hati.
Wahai jiwa-jiwa yang penuh harapan. Kau bawa diriku kegerbang  kesemarakan. Namun tak  terasa  diriku  hanyut dalam kesunyian.
Wahai sang Bulan, Wahai sang pelita malam. Kau senandungkan lantunan bait rindu disetiap senja Temaram. Melarutkanku dalam gejolak emosi yang mendalam.
Andai hangat nya mentari itu sinar bahagia
Akan ku songsong hinga ke senja..
Andai turun nya hujan lukisan air mata
Akan ku tadah seperti mutiara..

Karena cinta ku rela menderita.
Kau yg tak pernah mengerti arti nya cinta dan setia
Semua pengorbanan ku kau anggap biasa..
Bila saat nya tiba nanti baru kau rasa..
Setelah kutinggalkan dunia yg fana

Bumi Andipraja

         Terperanjatlah Lora ketika membaca surat tersebut. Air matanya banyak meleleh menuruni permukaan pipinya. Tak disangka, cintanya benar-benar ada. Dan mereka berdua saling mencintai. Lora segera memacu mobilnya ke rumahnya Bumi. Namun, sayang, pada saat dia datang kerumahnya Bumi. Tiada didapatinya Bumi. Hanya berita duka yang didapatkannya. Bumi telah meninggal karena kecelakaan semalam.
        Maka hancurlah hati Lora, kekasih hatinya sudah tiada. Dia telah menghadap sang khalik. Dan dengan sepucuk surat sebagai salam perpisahan. Ternyata apa yang ada didalam surat itu benar terjadi. Sungguh malang nasibnya dia telah menemukan sekaligus kehilangan cintanya.
        Maka tanpa berpikir panjang, Lora langsung memacu mobilnya ke tempat persemayaman terakhir bagi kekasih hatinya. Dengan perasaan yang meluap-luap, Lora mempercepat jalan mobilnya. Tak segan ia menyalip dan berkendara dengan kecepatan yang sangat tinggi. Sehingga banyak pemakai jalan yang menggerutu karena perbuatan Lora tersebut. Mungkin hanya itulah penghibur lora saat itu.
      Sampailah Lora pada tempat tujuannya. Yaitu ditempat dimana kekasihnya dimakamkan. Dengan gejolak emosi yang meluap-luap, ia berlari menuju pemakaman itu. Tak dihiraukannya bahwa jalanan tempatnya menyebrang masih sangat ramai dengan mobil yang berkecepatan tinggi. Saat itu, dunia seakan sirna dari mata Lora. Asalkan ia bisa mengucapkan salam perpisahan dan mengutarakan isi hatinya saja, itu sudah cukup baginya.
    Ketika Lora hampir sampai pada tempat tujuannya. “Brakk” Lora terserempet mobil. Lora terjatuh dengan berlumuran darah dikepala dan tangannya. Namun, pengendara mobil itu lari begitu saja tanpa ada rasa bersalah dan bertanggung jawab. Disisa-sisa kesadarannya Lora menghampiri kuburan Bumi dan memeluk kuburan tersebut dengan tubuhnya yang penuh bersimbah darah. Dalam setiap detik dia melantunkan syair-syair. Disetiap hela nafasnya tak pernah berhenti menyebut nama kekasihnya, yaitu Bumi.
Wahai abang…pertalian kita diikat oleh berjuta-juta tanda-tanya dan teka-teki. Sebelum terjawab semuanya, kakanda telah pergi.
Hanya pada bulan purnama dimalam hari dinda bisikan dan pesankan kerinduan adinda hendak bertemu. Namun bulan itu tak kunjung datang.
Hanya kepada angin petang yang berhembus di ranting-ranting kayu, hanya kepadanya aku bisikan kalimat-kalimat rindu
Wahai abang… diriku terpaut membisu , diriku terpaut tuli. Sehingga tak bisa merasakan rasamu yang begitu mendalam pada diri ini.
Maafkan diriku wahai abang…diriku yang tak pernah peka ,, jikalau mungkin bukan didunia takdir kita. Sudilah kakanda tunggu di akhirat sana..
      Begitulah kata-kata yang terucap disetiap hela napas Lora. Yang tak lama kemudian menghembuskan nafas terakhirnya………



~~Sekian~~



Oleh : Ahmad Zainul (XII IPA 4/02)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

smpe segitu?

Posting Komentar

 
Copyright (c) 2010 artikel bagus and Powered by Blogger.